'Mulut Racun' Mertua dan Perkara yang Belum Selesai soal Menjadi Ibu
"ASI-nya keluar enggak?" tanya ibu mertua kala mendengar bayisaya yang merengek tanpa henti karena kelaparan.
Saya yang baru menjadi ibu dalam kurun waktu seminggu sesaat merasakan sesak di dada. Pertanyaan itu seakan tidak memvalidasi kondisi saya yang tengah berjuang menyusui si kecil.
'Berjuang' memang kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi saya di fase-fase awal menyusui. Membekali diri dengan ilmu menyusui sebelumnya tak jadi jaminan. Pada praktiknya, saya tetap kelimpungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pilihan Redaksi
|
Payudara kiri saya tak bisa dipakai menyusui karena peradangan. Jadi, terpaksa saya hanya bisa mengandalkan payudara sebelah kanan.
Pertanyaan ibu mertua yang sebenarnya harmlessitu ternyata bak peluru yang menerjang tajam ke dada ibu menyusui yang sangat sensitif karena perubahan besar yang terjadi pada hidupnya hanya dalam satu malam. Tapi, saya tak bisa marah.
Tak berhenti di situ, ibu mertua juga menganggap anak saya tak kenyang hanya dengan meminum ASI dari ibunya. Ditawarkannya lah susu formula buat bikin si kecil lebih kenyang.
Seperti adegan di film laga, dadaku rasanya seperti ditembaki sana sini. Pun hal yang sama juga dilakukan oleh ipar-ipar saya yang lain.
Tangisan si kecil yang tak henti seperti membuat ibu mertua tak sabar dan berkata, "Keluar enggak susunya? Kalau deras, itu [ASI] sampai muncrat", sembari membuka pintu kamar saya tiba-tiba.
Suami siap siaga berdiri di depan pintu berusaha agar kata-kata itu tak terdengar oleh saya yang tengah kesusahan membetulkan pelekatan si kecil.
Sayangnya.. saya masih bisa mendengarkan dengan jelas. Tak ada hal apa pun yang bisa saya lakukan, selain menguatkan hati.
![]() |
Tanpa disadari, komentar-komentar itu berdampak signifikan terhadap diri saya, sebagai ibu baru. Rasa takut ditanya 'kenapa' tiba-tiba muncul tiap kali si kecil menangis.
Dampak lainnya? Tentu saja saya jadi 'sedikit' tidak sabar ketika si kecil menangis. Padahal, menangis adalah cara komunikasi bayi. Dan ya, selain menangis, bisa apa lagi, sih, bayi?
Saya pun mengalami baby blues.
Sedih dan tidak mau makan. Efeknya seperti domino: berat badan anak saya tidak naik sesuai ketentuan Kemenkes.
Menyalahkan diri sendiri? Pasti. Rasanya diri ini tak lagi berdaya digempur oleh berbagai komentar yang bikin hati meringis itu. Komentar yang terdengar sepele, tapi jadi luar biasa menyakitkan untuk ibu di fase awal menyusui.
Pertanyaan suami soal ASI pun jadi hal yang menyakitkan bagi saya. Saya bahkan sempat berpikir bahwa dia tak mengerti posisi dan segala usaha yang saya lakukan.
Lihat Juga :![]() |
Rasa sesak semakin menjadi-jadi saat dokter merekomendasikan tambahan susu formula untuk si kecil. Saat 'vonis' itu muncul, hati saya goyah segoyah-goyahnya.
Tangisan saya pecah saat melihat si kecil. Perasaan bersalah menggelayuti diri ini. Perkataan mertua soal ASI pun seperti terngiang kembali di kepala saya.
Saya tahu betul, kok, susu formula bukan lah racun. Tapi tetap saja rasanya sakit. Apa mungkin saya gagal?
Saya hanya bisa menangis.
Saya berusaha melihat lebih dalam, mengapa hal-hal tersebut terasa begitu mengganggu. Ternyata, keputusan yang saya buat untuk anak saya sendiri membuat saya merasa tidak dipercaya mampu menjalani peran sebagai orang tua.
![]() |
Kini, saya hanya bisa mencoba menjadi ibu baru yang lebih kuat. Saat komentar-komentar menyebalkan itu terjadi, saya hanya bisa memanjatkan doa agar rezeki saya diluaskan supaya mampu tinggal di tempat lain.
Toh, setiap orang tua punya caranya masing-masing untuk membesarkan buah hatinya, bukan? Anak saya, ya, cara saya.
Jangan disamakan cara orang tua membesarkan kita dengan cara kita membesarkan anak.
Saya memegang teguh perkataan Rasulullah yang sekaligus jadi penguat hati: 'Didik lah anakmu sesuai zamannya'.
(asr/asr)